BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Salah satu
akhlak yang mulia yang merupakan bentuk ketaatan seorang muslim dan sebagai
salah satu wujud rasa syukur kepada Allah Ta’ala adalah rasa malu kepada Allah.
Allah Ta’ala telah memberikan segala nikmat yang pasti tak dapat
terhitung dan Allah Ta’ala yang menghilangkan segala hal yang
menyulitkan dirinya. Hendaknya seorang muslim memiliki rasa malu kepada
Allah, karena ibadah yang dia lakukan sangat tak sebanding dengan nikmat yang
telah diberikan Allah kepadanya.
2.
Rumusan Masalah
Mengacau pada latar belakang diatas, kami akan mencoba merumuskan
masalah yang akan dibahas yaitu :
Ø Bagaimana penjelasan hadits tentang rasa malu sebagian dari iman ?
Ø Bagaimana prinsip rasa malu dalam diri manusia menurut
pertumbuhannya ?
3.
Tujuan
Ø Agar kita mengetahui dan memahami hadits tentang rasa malu sebagian
dari iman.
Ø Agar kita mengetahui dan memahami prinsip rasa malu dalam diri
manusia menurut pertumbuhannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits Rasa
Malu Sebagian dari Iman
حدثنا عَبْدُ اللهُ بْنِ يُوْسُفَ قَالَ اَخْبَرْنَا مَالِكُ بْنِ اَنَسِ
عَنْ اِبْنُ شِهَابُ عَنْ سَالَمْ بن عَبْدُ اللهِ عَنْ اَبِيْهِ اَنَّ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْاَنْصَارِ وَهُوَ
يَعِظُ اَخَاهُ فِيْ الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
دَعْهُ فَاِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الْاِيْمَانِ
Artinya: “meriwayatkan Abdullah bin Yusuf telah
berkata, Malik bin Anas mengkhabarkan dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah
dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah saw lewat pada seorang Anshar yang sedang
memberi nasehat saudaranya perihal pemalu. Lalu Rasulullah saw bersabda:
“Biarkan dia, karena malu itu sebagian dari iman.”[2][2]
Keterangan hadits
Sifat malu ini
telah dibahas sebelumnya dalam masalah iman. Adapun pengulangannya di disini
bertujuan untuk membahasnya secara terpisah dengan sanad yang berbeda, sehingga
pembahasan sebelumnya bukanlah pembahasan tersendiri yang tidak berhubungan
dengan pembahasan dalam bab ini.
عَنْ اَبِيْهِ (dari
ayahnya), yaitu Abdullah bin Umar bin Khattab.
مَرَّ عَلَى رَجُلٍ (Nabi
lewat dihadapan orang Anshar).
Dalam shahih Muslim lafadznya adalah مَرَّ بِرَجُلٍ marra berarti
melewati, kata tersebut biasa digabungkan dengan “Ala” atau ”ba”, saya
tidak mengetahui nama dua orang yang ada di atas tadi, baik yang memberikan
nasehat atau yang diberi nasehat.
يَعِظُ berarti
nasehat, menakut-nakuti atau mengingatkan. Demikianlah mereka menerangkan kata
tersebut. Keterangan yang lebih jelas adalah seperti yang diterangkan oleh Imam
Bukhari, dalam bab Adab melalui jalur Abdul Aziz bin Abu Salamah dari Ibnu
Shihab yang lafadznya يُعَاتُبَ اَخَاهُ فِيْ الْحَيَاءِ artinya “mencela sifat malu yang dimiliki oleh
saudaranya”. Ia berkata,”Engkau sangat pemalu,” seakan-akan ia berkata,”sifat
tersebut sangat membahayakan.”[3][3]
Ada kemungkinan
bahwa dua lafadz tersebut وَعِظُ (menasehati) dan ‘itaab عِتَابَ (mencela) disebutkan secara bersamaan dalam
satu hadits, akan tetapi sebagian periwayat ada yang menyebutkan dan ada yang
tidak. Hal tersebut dilakukan dengan keyakinan bahwa salah satu dari dua lafadz
tersebut dapat mewakili lafadz yang lain.
في termasuk “fa sababiyah (yang
mengindikasikan sebab) artinya seakan-akan pria tersebut sangat pemalu sampai
tidak ingin meminta haknya. Karena itulah ia dicela oleh saudaranya. Rasulullag
saw bersabda kepadanya,دعه artinya, biarkan dia tetap berada dalam ahklak
yang disunahkan itu, karena malu adalah sebagian dari iman. Jika sifat malu
menghalangi seseorang menuntut haknya, maka dia akan diberi pahala sesuai
dengan hak yang ditinggalkannya itu. Ibnu Qutaibah berkata,”Maksudnya, bahwa
sifat malu dapat menghalangi dan menghindarkan seseorang untuk melakukan
kemaksiatan sebagaimana iman. Maka sifat malu disebut sebagai iman, seperti
sesuatu dapat diberi nama dengan lainnya yang menggantikan posisinya.”
Untuk itu,
pernyataan bahwa sifat malu merupakan sebagian dari iman termasuk kiasan. Dalam
hadits tersebut, tampaknya orang yang melarang itu tidak mengetahui bahwa malu
termasuk salah satu kesempurnaan iman, sehingga setelah itu ditegaskan kembali
eksistensi dari sifat malu tersebut. Penegasan itu juga disebabkan karena
masalah itu adalah masalah yang harus diperhatikan, meskipun tidak ada yang
mengingkarinya.
Ar-Raghib
berkata,”malu adalah menahan diri dari perbuatan buruk (maksiat). Sifat tersebut
merupakan salah satu ciri khusus manusia yang dapat mencegah dari perbuatan
yang memalukan dan membedakannya dari binatang. Sifat tersebut merupakan
gabungan dari sifat takut dan iffah (menjaga kesucian).
Imam Nawawi
berkata,”Malu hakikatnya adalah perangai yang dapat mendorong meninggalkan
keburukan dan mencegah teledor dalam menunaikan hak orang lain.
Qadhi Iyadh
berkata,”Ungkapan malu sebagai kebaikan seluruhnya atau malu tidak membawa
kecuali kebaikan agaknya controversial bila diartikan secara umum begitu saja.
Karena pemikik sifat malu tampak enggan menghadapi orang yang mengerjakan
kemungkaran dengan alasan malu. Malu juga kerap mendorong seseorang melakukan
pelanggaran terhadap suatu hak. Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan malu dalam
hadits di atas adalah malu yang sesuai dengan syara’ (hukum agama). Sementara
malu yang memicu pelanggaran terhadap hak bukanlah malu yang sesuai dengan
syara’ melainkan malu karena serupa dengan malu secara syara’ yaitu perangai
yang dapat mendorong meninggalkan keburukan.
Ibnu hajar
berkata,”bisa jadi makna malu adalah kebaikan yang sangat dominan ada pada diri
orang yang memiliki sifat malu, maka hilang lenyaplah kemungkinan dia
tergelincir dan kebaikan sebagai buah dan sifat malu pada dirinya yang membawa
kebaikan.[4][4]
Sahabat Ali bin
Abu Thalib berkata,”Barang siapa memakai baju malu niscaya masyarakat tidak
akan melihat aibnya.”
Malu adalah
akhlak yang menghiasi perilaku manusia dengan cahaya dan keanggunan yang ada
padanya. Inilah akhlak yang terpuji yang ada pada diri seseorang lelaki dan
fitrah yang mengkarakter pada diri setiap wanita. Sehingga, sangat tidak masuk
akal jika ada wanita yang tidak ada rasa malu sedikitpun dalam dirinya. Rasa
manis seorang wanita salah satunya adalah buah dari adanya sifat malu dalam
dirinya.
Wanita yang
beriman adalah wanita yang memiliki sifat malu. Sifat malu tampak pada cara dia
berbusana. Ia menggunakan busana takwa, yaitu busana yang menutupi auratnya.
Para ulama sepakat bahwa aurat seorang wanita di hadapan pria adalah seluruh
tubuh kecuali wajah dan tapak tangan.
Ibnu Katsir berkata,
“Pada zaman jahiliyah dahulu, sebagian kaum wanitanya berjalan di tengah kaum
lelaki dengan tidak kelihatan aurat. Dan mungkin saja mereka juga
memperlihatkan leher, rambut, dan telinga mereka. Maka Allah memerintahkan
wanita muslimah agar menutupi bagian-bagian tersebut.”
Menundukkan
bagian juga bagian dari rasa malu. Sebab mata memiliki sejuta bahasa. Tatapan
sendu, dan isyarat lainnya yang membuat berjuta rasa di dada lelaki. Setiap
wanita memiliki pandangan mata yang setajam anak panah dan setiap lelaki paham
akan pesan yang dimaksud oleh pandangan itu. Karena itu, Allah swt
memerintahkan kepada lelaki dan wanita untuk menundukkan pandangan mereka.
Memang
realistis kekinian tidak bisa dipungkiri. Kaum wanita saat ini beraktivitas di
sektor publik, baik sebagai profesional ataupun aktivis sosial politik. Ada
yang dengan alas an untuk melayani kepentingan sesama wanita yang fitri. Ada
juga yang karena keterpaksaan. Sehingga bercampur baur dengan lelaki tidak bisa
dihindari.
Drs. Yusuf
Qaradhawi berpendapat,”Saya ingin mengatakan di sini bahwa bercampur baur
antara wanita dan lelaki adalah diadopsi ke dalam kamus Islam yang tidak di
kenal oleh warisana budaya kita pada sejarah berabad-abad sebelumnya, dan tidak
diketahui selain masa ini. Mungkin saja ia berasal dari bahasa asing, hal itu
memiliki isyarat yang tidak menenteramkan hati setiap muslim. Yang lebih cocok
mungkin bisa menggunakan kata liqa’ (pertemuan) atau keterlibatan
seorang lekaki dan wanita, dan sebagainya. Yang jelas, Islam tidak mengeluarkan
aturan dan hukum umum terkait dengan masalah ini. Namun hanya melihat tujuan
aktivitas tersebut atau maslahat yang mungkin terjadi dan bahaya yang
dikhwatirkan, gambaran yang utuh dengannya, dan syarat-syarat yang diperhatikan
di dalamnya.”
Ada pula yang
berpendapat bahwa malu tersebut adalah menahan diri, karena takut melakukan
sesuatu yang dibenci oleh syariat, akal maupun adat kebiasaan. Orang yang
melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, maka ia termasuk orang yang fasik.
Jika ia melakukan hal yang dibenci oleh akal, maka ia termasuk dalam kategori
orang gila. Sedangkan jika ia melakukan hal yang dibenci oleh adat, maka dia
termasuk orang bodoh.[5][5]
Sifat malu terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
1.
Malu kepada
dirinya.
2.
Malu kepada manusia.
3.
Malu kepada
Allah swt.
Tiga macam
sifat malu tersebut merupakan sendi-sendi kebaikan dan pokok dasar yang utama,
sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah saw yang artinnya:” mempunyai rasa
malu adalah baik (HR. Bukhari dan Muslim).
Apabila isi
hadits yang menyatakan bahwa rasa malu sebagian dari iman, jelaslah bahwa
pribadi yang mempunyai rasa malu dalam arti yang benar, sangat bertautan dengan
masalah kadar keimanan seseorang. Apabila rasa malu itu telah hilang, seperti
hilangnya warna hijau pada buah yang segar karena matang, maka akan lenyaplah
warna hijau itu bersama buah itu sendiri. Justru itulah yang dikatakan
Rasulullah saw dalam haditsnya, yang artinya:”Apabila kalian tidak mempunyai
rasa malu lagi, maka berbuatlah apa yang kamu kehendaki” ( HR Bukhari ).
Rasa malu bisa
menjadi tameng bagi manusia. Bisa mencegah seseorang melakukan hal-hal yang
tidak pantas apalagi maksiat dan dosa. Dan bila tidak ada rasa malu, maka
seseorang bisa melakukan apa saja sesukanya sesuai dengan hadits di atas.
Malu melakukan
hal yang sia-sia apalagi dosa merupakan indikasi (tanda) baiknya seseorang.
Karena malu seperti ini adalah bagian dari iman. Bukan malu yang melakukan
kebaikan. Karena malu melakukan kebaikan adalah pertanda kelemahan, sebagaimana
disampaikan oleh Syekh Bugha dalam Kitab Al-Wafii ketika menerangkan hadits
tersebut. Malu dalam hal ini adalah malu yang tercela.
Dalam kehidupan
sehari-hari kita, tentunya tidak luput dari perasaan malu. Rasa malu itu timbul
lantaran banyak hal. Apakah malu lantaran status sosial yang rendah, malu
lantaran kondisi ekonomi yang lemah, malu lantaran wajah dan fisik yang buruk,
dan sebagainya.
Apa yang harus
kita sadari adalah, kita harus lebih merasakan malu dalam menjalankan perintah
Allah swt dan meninggalkan larangan-Nya. Kita harus merasakan malu lantaran
melakukan hal yang sia-sia. Malu lantaran melakukan maksiat dan dosa. Malu
lantaran menelantarkan kewajiban-kewajiban kita.
Jangan sampai kita malu lantaran kondisi
ekonomi kita, tetapi kita tidak malu dengan kondisi lemah keagamaan kita.
Jangan sampai kita malu lantaran rendahnya posisi sosial kita, namun kita tidak
malu lantaran rendahnya akhlak kita. Jangan sampai kita malu lantaran buruknya
wajah dan tubuh kita, namun kita tidak malu lantaran buruknya ketakwaan kita.
Padahal standar hakiki kemulian seorang hamba adalah takwa. Allah swt berfirman
dalam surat Al-Hujarat ayat 13 yang berbunyi:
Artinnya:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujarat: 13)
B. Prinsip rasa malu
Pada
prinsipnya sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Wafii syarah Arbain Nawawi,
rasa malu dalam diri manusia bisa dibagi dari pertumbuhannya menjadi dua:
pertama,
rasa malu yang ada secara fitrah. Rasa ini
timbul secara otomatis dalam diri manusia. Malu untuk melakukan keburukan
sebenarnya adalah fitrah manusia. Karena memang setiap anak manusia itu lahir
dalam keadaan fitrah. Namun rasa malu ini akan dipengaruhi dalam proses selanjutnya.
Kedua, rasa malu yang
ditimbulkan. Rasa malu ini bisa ditumbuhkembangkan dalam jiwa seseorang. Karena
rasa malu merupakan bagian dari akhlak, dan akhlak adalah sesuatu yang bisa
diupayakan dalam diri manusia.
ada satu
langkah yang utama dan pertama untuk menumbuhkan rasa malu yang terpuji, yaitu
mengenal Allah swt, untuk selanjutnya akan menumbuhkan rasa pengawasan-Nya.
Mengenal Allah swt kita bisa membaca dan merenungi Al-Qur’an untuk mengenal
Allah swt.
Seorang muslim
harus berhias dengan perilaku malu yang utama tersebut sebab malu adalah
kategori agama seluruhnya. Etika itu termasuk cabang keimanan dan termasuk
bagian dari Etika Islam. Setiap agama memilki etika dan sesungguhnya etika
Islam adalah malu.
Sifat malu
termasuk kunci segala kebaikan, bila sifat malunya kuat, maka kebaikan menjadi
dominan dan keburukan menjadi melemah. Bila sifat malunya lemah, maka kebaikan
melemah dan perilaku buruk dominan, Karena malu adalah penghalang antara
seseorang dengan hl-hal yang dilarang.[6][6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Diantara
Pelajaran hadits tentang malu sebagian dari iman tersebut sebagai berikut:
1.
Isi hadits yang menyatakan bahwa rasa malu
sebagian dari iman, maksudnya bahwa pribadi yang mempunnyai rasa malu dalam
arti yang benar, sangat bertautan dengan masalah kadar keimanan seseorang.
Apabila rasa malu itu telah hilang, seperti hilangnya warna hijau pada buah
yang segar karena matang, maka akan lenyaplah warna hijau itu bersama buah itu
sendiri. Justru itulah yang dikatakan Rasulullah saw dalam haditsnya, yang
artinya:”Apabila kalian tidak mempunyai rasa malu lagi, maka berbuatlah apa
yang kamu kehendaki” ( HR Bukhari ).
2.
Adapun
prinsip rasa malu dalam diri manusia bisa dibagi dari
pertumbuhannya menjadi dua, yaitu :
1. rasa malu yang ada secara fitrah.
2. rasa malu yang
ditimbulkan.
B.
Saran
Kita
sebagai umat islam dan khususnya sebagai calon pendidik, haruslah mulai banyak
belajar dalam mengkaji tentang masalah Hadits terutama masalah Akhlaq. Hal ini
sebagai upaya perbaikan pendidikan pada anak didik kita, agar supaya mereka
mampu melakukan prilaku-prilaku yang terpuji yang dicontohkan oleh Baginda
Rasulullah SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2002. Fathul Baari
Jilid 1, Jakarta: Pustaka Azzam.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2002. Fathul Baari
Jilid 10, Jakarta: Pustaka Azzam.
Baqi’
M. Fu’ad Abdul.
1993. Al-Lulu Wal Marjan, Semarang: Al-Ridha.
Haqqi, Ahmad Muadz. 2003. 40 Hadits Akhlaq, Surabaya:
As-Sunnah,.
Sunarto, achmad & dkk. 1992. Terjemah
Shahih Bukhari, Semarang: Asy-Syifa.
Subhanallah penjelasan yang cukup lengkap tentang pentingnya pendidikan rasa malu ini... Makasih
BalasHapus