Senin, 06 Mei 2013

hadits tentang rasa malu


BAB I
PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang
Salah satu akhlak yang mulia yang merupakan bentuk ketaatan seorang muslim dan sebagai salah satu wujud rasa syukur kepada Allah Ta’ala adalah rasa malu kepada Allah. Allah Ta’ala telah memberikan segala nikmat yang pasti tak dapat terhitung dan Allah Ta’ala yang menghilangkan segala hal yang menyulitkan dirinya. Hendaknya seorang muslim memiliki rasa malu kepada Allah, karena ibadah yang dia lakukan sangat tak sebanding dengan nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya.

2.        Rumusan Masalah
Mengacau pada latar belakang diatas, kami akan mencoba merumuskan masalah yang akan dibahas yaitu :
Ø  Bagaimana penjelasan hadits tentang rasa malu sebagian dari iman ?
Ø  Bagaimana prinsip rasa malu dalam diri manusia menurut pertumbuhannya ?

3.        Tujuan
Ø  Agar kita mengetahui dan memahami hadits tentang rasa malu sebagian dari iman.
Ø  Agar kita mengetahui dan memahami prinsip rasa malu dalam diri manusia menurut pertumbuhannya.












BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hadits Rasa Malu Sebagian dari Iman
حدثنا عَبْدُ اللهُ بْنِ يُوْسُفَ قَالَ اَخْبَرْنَا مَالِكُ بْنِ اَنَسِ عَنْ اِبْنُ شِهَابُ عَنْ سَالَمْ بن عَبْدُ اللهِ عَنْ اَبِيْهِ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْاَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ اَخَاهُ فِيْ الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَاِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الْاِيْمَانِ     
 لايمان باب الحياء من الايمان)[1][1]  (خر جه البخاري ف كتاب
Artinya: “meriwayatkan Abdullah bin Yusuf telah berkata, Malik bin Anas mengkhabarkan dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah saw lewat pada seorang Anshar yang sedang memberi nasehat saudaranya perihal pemalu. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Biarkan dia, karena malu itu sebagian dari iman.”[2][2]
Keterangan hadits
Sifat malu ini telah dibahas sebelumnya dalam masalah iman. Adapun pengulangannya di disini bertujuan untuk membahasnya secara terpisah dengan sanad yang berbeda, sehingga pembahasan sebelumnya bukanlah pembahasan tersendiri yang tidak berhubungan dengan pembahasan dalam bab ini.
عَنْ اَبِيْهِ (dari ayahnya), yaitu Abdullah bin Umar bin Khattab.
مَرَّ عَلَى رَجُلٍ (Nabi lewat dihadapan orang Anshar).
Dalam shahih Muslim lafadznya adalah مَرَّ بِرَجُلٍ  marra berarti melewati, kata tersebut biasa digabungkan dengan “Ala” atau ”ba”, saya tidak mengetahui nama dua orang yang ada di atas tadi, baik yang memberikan nasehat atau yang diberi nasehat.
يَعِظُ  berarti nasehat, menakut-nakuti atau mengingatkan. Demikianlah mereka menerangkan kata tersebut. Keterangan yang lebih jelas adalah seperti yang diterangkan oleh Imam Bukhari, dalam bab Adab melalui jalur Abdul Aziz bin Abu Salamah dari Ibnu Shihab yang lafadznya يُعَاتُبَ اَخَاهُ فِيْ الْحَيَاءِ  artinya “mencela sifat malu yang dimiliki oleh saudaranya”. Ia berkata,”Engkau sangat pemalu,” seakan-akan ia berkata,”sifat tersebut sangat membahayakan.”[3][3]
Ada kemungkinan bahwa dua lafadz tersebut وَعِظُ  (menasehati) dan ‘itaab عِتَابَ (mencela) disebutkan secara bersamaan dalam satu hadits, akan tetapi sebagian periwayat ada yang menyebutkan dan ada yang tidak. Hal tersebut dilakukan dengan keyakinan bahwa salah satu dari dua lafadz tersebut dapat mewakili lafadz yang lain.
في  termasuk “fa sababiyah (yang mengindikasikan sebab) artinya seakan-akan pria tersebut sangat pemalu sampai tidak ingin meminta haknya. Karena itulah ia dicela oleh saudaranya. Rasulullag saw bersabda kepadanya,دعه  artinya, biarkan dia tetap berada dalam ahklak yang disunahkan itu, karena malu adalah sebagian dari iman. Jika sifat malu menghalangi seseorang menuntut haknya, maka dia akan diberi pahala sesuai dengan hak yang ditinggalkannya itu. Ibnu Qutaibah berkata,”Maksudnya, bahwa sifat malu dapat menghalangi dan menghindarkan seseorang untuk melakukan kemaksiatan sebagaimana iman. Maka sifat malu disebut sebagai iman, seperti sesuatu dapat diberi nama dengan lainnya yang menggantikan posisinya.”
Untuk itu, pernyataan bahwa sifat malu merupakan sebagian dari iman termasuk kiasan. Dalam hadits tersebut, tampaknya orang yang melarang itu tidak mengetahui bahwa malu termasuk salah satu kesempurnaan iman, sehingga setelah itu ditegaskan kembali eksistensi dari sifat malu tersebut. Penegasan itu juga disebabkan karena masalah itu adalah masalah yang harus diperhatikan, meskipun tidak ada yang mengingkarinya.
Ar-Raghib berkata,”malu adalah menahan diri dari perbuatan buruk (maksiat). Sifat tersebut merupakan salah satu ciri khusus manusia yang dapat mencegah dari perbuatan yang memalukan dan membedakannya dari binatang. Sifat tersebut merupakan gabungan dari sifat takut dan iffah (menjaga kesucian).
Imam Nawawi berkata,”Malu hakikatnya adalah perangai yang dapat mendorong meninggalkan keburukan dan mencegah teledor dalam menunaikan hak orang lain.
Qadhi Iyadh berkata,”Ungkapan malu sebagai kebaikan seluruhnya atau malu tidak membawa kecuali kebaikan agaknya controversial bila diartikan secara umum begitu saja. Karena pemikik sifat malu tampak enggan menghadapi orang yang mengerjakan kemungkaran dengan alasan malu. Malu juga kerap mendorong seseorang melakukan pelanggaran terhadap suatu hak. Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan malu dalam hadits di atas adalah malu yang sesuai dengan syara’ (hukum agama). Sementara malu yang memicu pelanggaran terhadap hak bukanlah malu yang sesuai dengan syara’ melainkan malu karena serupa dengan malu secara syara’ yaitu perangai yang dapat mendorong meninggalkan keburukan.
Ibnu hajar berkata,”bisa jadi makna malu adalah kebaikan yang sangat dominan ada pada diri orang yang memiliki sifat malu, maka hilang lenyaplah kemungkinan dia tergelincir dan kebaikan sebagai buah dan sifat malu pada dirinya yang membawa kebaikan.[4][4]
Sahabat Ali bin Abu Thalib berkata,”Barang siapa memakai baju malu niscaya masyarakat tidak akan melihat aibnya.”
Malu adalah akhlak yang menghiasi perilaku manusia dengan cahaya dan keanggunan yang ada padanya. Inilah akhlak yang terpuji yang ada pada diri seseorang lelaki dan fitrah yang mengkarakter pada diri setiap wanita. Sehingga, sangat tidak masuk akal jika ada wanita yang tidak ada rasa malu sedikitpun dalam dirinya. Rasa manis seorang wanita salah satunya adalah buah dari adanya sifat malu dalam dirinya.
Wanita yang beriman adalah wanita yang memiliki sifat malu. Sifat malu tampak pada cara dia berbusana. Ia menggunakan busana takwa, yaitu busana yang menutupi auratnya. Para ulama sepakat bahwa aurat seorang wanita di hadapan pria adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan tapak tangan.
Ibnu Katsir berkata, “Pada zaman jahiliyah dahulu, sebagian kaum wanitanya berjalan di tengah kaum lelaki dengan tidak kelihatan aurat. Dan mungkin saja mereka juga memperlihatkan leher, rambut, dan telinga mereka. Maka Allah memerintahkan wanita muslimah agar menutupi bagian-bagian tersebut.”
Menundukkan bagian juga bagian dari rasa malu. Sebab mata memiliki sejuta bahasa. Tatapan sendu, dan isyarat lainnya yang membuat berjuta rasa di dada lelaki. Setiap wanita memiliki pandangan mata yang setajam anak panah dan setiap lelaki paham akan pesan yang dimaksud oleh pandangan itu. Karena itu, Allah swt memerintahkan kepada lelaki dan wanita untuk menundukkan pandangan mereka.
Memang realistis kekinian tidak bisa dipungkiri. Kaum wanita saat ini beraktivitas di sektor publik, baik sebagai profesional ataupun aktivis sosial politik. Ada yang dengan alas an untuk melayani kepentingan sesama wanita yang fitri. Ada juga yang karena keterpaksaan. Sehingga bercampur baur dengan lelaki tidak bisa dihindari.
Drs. Yusuf Qaradhawi berpendapat,”Saya ingin mengatakan di sini bahwa bercampur baur antara wanita dan lelaki adalah diadopsi ke dalam kamus Islam yang tidak di kenal oleh warisana budaya kita pada sejarah berabad-abad sebelumnya, dan tidak diketahui selain masa ini. Mungkin saja ia berasal dari bahasa asing, hal itu memiliki isyarat yang tidak menenteramkan hati setiap muslim. Yang lebih cocok mungkin bisa menggunakan kata liqa’ (pertemuan) atau keterlibatan seorang lekaki dan wanita, dan sebagainya. Yang jelas, Islam tidak mengeluarkan aturan dan hukum umum terkait dengan masalah ini. Namun hanya melihat tujuan aktivitas tersebut atau maslahat yang mungkin terjadi dan bahaya yang dikhwatirkan, gambaran yang utuh dengannya, dan syarat-syarat yang diperhatikan di dalamnya.”
Ada pula yang berpendapat bahwa malu tersebut adalah menahan diri, karena takut melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, akal maupun adat kebiasaan. Orang yang melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, maka ia termasuk orang yang fasik. Jika ia melakukan hal yang dibenci oleh akal, maka ia termasuk dalam kategori orang gila. Sedangkan jika ia melakukan hal yang dibenci oleh adat, maka dia termasuk orang bodoh.[5][5]
Sifat malu terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
1.      Malu kepada dirinya.
2.      Malu kepada manusia.
3.      Malu kepada Allah swt.
Tiga macam sifat malu tersebut merupakan sendi-sendi kebaikan dan pokok dasar yang utama, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah saw yang artinnya:” mempunyai rasa malu adalah baik (HR. Bukhari dan Muslim).
Apabila isi hadits yang menyatakan bahwa rasa malu sebagian dari iman, jelaslah bahwa pribadi yang mempunyai rasa malu dalam arti yang benar, sangat bertautan dengan masalah kadar keimanan seseorang. Apabila rasa malu itu telah hilang, seperti hilangnya warna hijau pada buah yang segar karena matang, maka akan lenyaplah warna hijau itu bersama buah itu sendiri. Justru itulah yang dikatakan Rasulullah saw dalam haditsnya, yang artinya:”Apabila kalian tidak mempunyai rasa malu lagi, maka berbuatlah apa yang kamu kehendaki” ( HR Bukhari ).
Rasa malu bisa menjadi tameng bagi manusia. Bisa mencegah seseorang melakukan hal-hal yang tidak pantas apalagi maksiat dan dosa. Dan bila tidak ada rasa malu, maka seseorang bisa melakukan apa saja sesukanya sesuai dengan hadits di atas.
Malu melakukan hal yang sia-sia apalagi dosa merupakan indikasi (tanda) baiknya seseorang. Karena malu seperti ini adalah bagian dari iman. Bukan malu yang melakukan kebaikan. Karena malu melakukan kebaikan adalah pertanda kelemahan, sebagaimana disampaikan oleh Syekh Bugha dalam Kitab Al-Wafii ketika menerangkan hadits tersebut. Malu dalam hal ini adalah malu yang tercela.
Dalam kehidupan sehari-hari kita, tentunya tidak luput dari perasaan malu. Rasa malu itu timbul lantaran banyak hal. Apakah malu lantaran status sosial yang rendah, malu lantaran kondisi ekonomi yang lemah, malu lantaran wajah dan fisik yang buruk, dan sebagainya.
Apa yang harus kita sadari adalah, kita harus lebih merasakan malu dalam menjalankan perintah Allah swt dan meninggalkan larangan-Nya. Kita harus merasakan malu lantaran melakukan hal yang sia-sia. Malu lantaran melakukan maksiat dan dosa. Malu lantaran menelantarkan kewajiban-kewajiban kita.
Jangan sampai kita malu lantaran kondisi ekonomi kita, tetapi kita tidak malu dengan kondisi lemah keagamaan kita. Jangan sampai kita malu lantaran rendahnya posisi sosial kita, namun kita tidak malu lantaran rendahnya akhlak kita. Jangan sampai kita malu lantaran buruknya wajah dan tubuh kita, namun kita tidak malu lantaran buruknya ketakwaan kita. Padahal standar hakiki kemulian seorang hamba adalah takwa. Allah swt berfirman dalam surat Al-Hujarat ayat 13 yang berbunyi:


Artinnya:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujarat: 13)

B.       Prinsip rasa malu
Pada prinsipnya sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Wafii syarah Arbain Nawawi, rasa malu dalam diri manusia bisa dibagi dari pertumbuhannya menjadi  dua:
pertama, rasa malu yang ada secara fitrah. Rasa ini timbul secara otomatis dalam diri manusia. Malu untuk melakukan keburukan sebenarnya adalah fitrah manusia. Karena memang setiap anak manusia itu lahir dalam keadaan fitrah. Namun rasa malu ini akan dipengaruhi dalam proses selanjutnya.
Kedua, rasa malu yang ditimbulkan. Rasa malu ini bisa ditumbuhkembangkan dalam jiwa seseorang. Karena rasa malu merupakan bagian dari akhlak, dan akhlak adalah sesuatu yang bisa diupayakan dalam diri manusia.
ada satu langkah yang utama dan pertama untuk menumbuhkan rasa malu yang terpuji, yaitu mengenal Allah swt, untuk selanjutnya akan menumbuhkan rasa pengawasan-Nya. Mengenal Allah swt kita bisa membaca dan merenungi Al-Qur’an untuk mengenal Allah swt.
Seorang muslim harus berhias dengan perilaku malu yang utama tersebut sebab malu adalah kategori agama seluruhnya. Etika itu termasuk cabang keimanan dan termasuk bagian dari Etika Islam. Setiap agama memilki etika dan sesungguhnya etika Islam adalah malu.
Sifat malu termasuk kunci segala kebaikan, bila sifat malunya kuat, maka kebaikan menjadi dominan dan keburukan menjadi melemah. Bila sifat malunya lemah, maka kebaikan melemah dan perilaku buruk dominan, Karena malu adalah penghalang antara seseorang dengan hl-hal yang dilarang.[6][6]



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Diantara Pelajaran hadits tentang malu sebagian dari iman tersebut sebagai berikut:
1.      Isi hadits yang menyatakan bahwa rasa malu sebagian dari iman, maksudnya bahwa pribadi yang mempunnyai rasa malu dalam arti yang benar, sangat bertautan dengan masalah kadar keimanan seseorang. Apabila rasa malu itu telah hilang, seperti hilangnya warna hijau pada buah yang segar karena matang, maka akan lenyaplah warna hijau itu bersama buah itu sendiri. Justru itulah yang dikatakan Rasulullah saw dalam haditsnya, yang artinya:”Apabila kalian tidak mempunyai rasa malu lagi, maka berbuatlah apa yang kamu kehendaki” ( HR Bukhari ).
2.      Adapun prinsip rasa malu dalam diri manusia bisa dibagi dari pertumbuhannya menjadi  dua, yaitu :
1.      rasa malu yang ada secara fitrah.
2.      rasa malu yang ditimbulkan.

B.       Saran
Kita sebagai umat islam dan khususnya sebagai calon pendidik, haruslah mulai banyak belajar dalam mengkaji tentang masalah Hadits terutama masalah Akhlaq. Hal ini sebagai upaya perbaikan pendidikan pada anak didik kita, agar supaya mereka mampu melakukan prilaku-prilaku yang terpuji yang dicontohkan oleh Baginda Rasulullah SAW.












DAFTAR PUSTAKA


Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2002. Fathul Baari Jilid 1, Jakarta: Pustaka Azzam.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2002. Fathul Baari Jilid 10, Jakarta: Pustaka Azzam.
Baqi’ M. Fu’ad Abdul. 1993. Al-Lulu Wal Marjan, Semarang: Al-Ridha.
Haqqi, Ahmad Muadz. 2003. 40 Hadits Akhlaq, Surabaya: As-Sunnah,.
Sunarto, achmad & dkk. 1992. Terjemah Shahih Bukhari, Semarang: Asy-Syifa.








[1][1] Achmad Sunarto & ddk, Terjemah Shahih Bukhari, Semarang: Asy-Syifa, 1992, h. 27.
[2][2] M. Fu’ad Abdul Baqi’, Al-Lulu Wal Marjan, Semarang: Al-Ridha, 1993, h. 29-31.
[3][3] Ibnu Hajar Al-Asqalani, fathul Baari Jilid 1, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002, hal. 129.
[4][4] Ibnu Hajar Al-Asqanali, Fathul Baari Jilid 10, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002, hal. 522.
[5][5] Ibid, hal. 130-131.
[6][6] Ahmad Muadz Haqqi, 40 Hadits Akhlaq, Surabaya: As-Sunnah, 2003, hal. 61.

1 komentar: